Dahulu kala, di sebuah kuil di gunung, hiduplah seorang biksu paruh baya yang punya 19 bakat bersama seekor kucing betina yang dalam sehari kegiatannya (hanya) tidur sebentar sambil bersantai.
Tapi. Pada suatu pagi, biksu itumenyadari suatu hal yang aneh. Seperti biasanya saat mengenakan jubah, sidikit basah, bagian bawah pakaiannya sedikit kotor oleh lumpur. Karena hal tersebut berlangsung selama 2 – 3 hari, sesuai dugaan, sang biksu pun menyandarkan lehernya, pura-pura tidur, memutuskan untuk mengawasi keadaan tersebut. Kemudian kucing betina yang tidur melingkar di bagian bawah futon terbangun, setelah memastikan nafas tidur si biksu, dengan terampilnya memakai jubahnya (biksu) yang digantung di kamar ke bahunya lalu keluar. Agar tidak ketahuan oleh si biksu, setelah pergi memakai secara diam-diam, si kucing betina entah apa sebabnya, dengan berpura-pura bermegah diri masuk ke dalam kuil. Saat cob mengintip, kuilnya, (ada) 3 (helai) bulu, (warna) hitam, putih dan berbagai jenis kucing berkumpul beberapa puluh ekor, dan lagi semuanya secara teratur duduk bersila. Karena ada sesuatu yang aneh, begitu si biksu akhirnya melihatnya , keluar dengan jubah yang digantung si kucing.
Si kucing betina dengan memasang wajah yang serius tidak menunjukkan apa-apa, duduk seperti yang dilakukan si biksu (saat) di tempat kerjanya, mulai membaca kitab Budha. Meskipun dikatakan (membaca) kitab Budha, seperti yang baru saja di lafalkan si biksu, karena ungkapan bahasa kucing, terdengar (seperti) diucapkan dengan cara [nyaan, nyaan, nyaage, nyaaguu], makin lama makin aneh, menahan perut, secara diam-diam memisahkan kuil.
Pagi keesokan harinya, begitu si biksu membuka mata, si kucing betina yang sedang menunggu di sisi tempat tidur, dengan sikap yang siap dan tegap kemudian mulai berkata, “biksu, kemarin malam (dengan tidak sengaja) telah melihat hal yang tidak mengenakkan, tapi terima kasih karena sudah dimaafkan kalau begitu, karena sudah banyak berhutang budi, (saya) ingin mengembalikannya. Tidak lama lagi, karena harus ikut upacara pemakaman di rumah seorang jutawan, pada waktu itu saya membacakan mantera. Kalau si jutawan itu datang meminta bantuan kitab Budha kepada biksu, tolong diterima saja. Saat biksu mengucapkan [amin] dalam kitab Budha, mengisyaratkan bahwa telah membatalkan manteranya. Benar benar tolong jangan sampai lupa.” Begitu si kucing selesai berbicara, sosoknya menghilang tiba-tiba.
Beberapa saat kemudian, seperti yang dikatakan si kucing, anak dari jutawan itu sendiri meninggal.
Upacara pemakaman pun digelar. Para pendeta berkali kali dipanggil, tapi hanya pendeta tinggi yang sudah tua saja yang dilupakan, dari mana pun suaranya tak terdengar.
Lalu, tiba waktunya pengusungan peti. Di tengah-tengah prosesi yang panjang, tiba-tiba ketika peti dikira akan diangkat, petinya hanya berhenti diam di udara. Kejadian ajaib ini membuat semua orang terkejut dan panik. Kemudian para pendeta langsung membaca sutra secara bersamaan, tapi tak sedikitpun terlihat pengaruhnya. Di samping, walau si jutawan meneriakkan kalau akan ada hadiah yang besar, hal ini sudah tak terhindarkan lagi. Di saat yang sama, seorang nenek teringat tentang pendeta tinggi di kuil gunung, dan memberitahukannya kepada si jutawan. Para penduduk desa lainnya semua berkata tak setuju, “memangnya bisa apa pendeta tua seperti dia?”. Namun si jutawan yang sangat membutuhkan bantuan walau sekecil apapun segera mengutus kurir (untuk ke kuil gunung).
Pendeta di gunung, setelah selesai mendengarkan duduk permasalahannya, dia pun bersiap-siap, dan tanpa menunjukkan kebingungan, dia mulai berjalan menuju tempat di mana semua orang menunggu. Di tengah-tengah orang yang penasaran, dia duduk di atas rumput, dan mulai membaca sutra dengan khusyuk. Setelah dia membaca ayat-ayat (なむとらあやあやあ/namutoraayaa), peti anak perempuan jutawan yang tadinya tidak mau bergerak sama sekali akhirnya turun ke tanah. Jutawan dan para penduduk desa pun terkaget-kaget sekaligus bahagia. Akhirnya, pemakaman anak perempuan si jutawan pun berjalan dengan lancar, dan sebagai rasa terimakasih, kuil gunung dibangun kembali. Segala kekurangan yang dibutuhkan kuil dipenuhi, dan barang-barang bagus pun disumbangkan ke kuil. Namun pendeta tinggi yang sudah tua tetap tak berubah, menjalani setiap harinya dengan santai-santai tidur-tiduran.
Nilai Moral: selalu berbuat baiklah pada sesame makhluk hidup, karena perbuatan baik akan senantiasa dibalas.
Rabu, 27 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar