AGAMA KRISTEN DI JEPANG
I. Awal Mula
Agama
Kristen masuk pertama kali dibawa masuk ke Jepang oleh St. Franciscus
Xaverius yang tiba di Nagasaki, Kyushu, pada tahun 1550. Pada masa itu
Jepang dipimpin oleh shogun. Dari para shogun yang berkuasa, ada tiga
shogun yang berpengaruh, yaitu Oda Nobunaga,Toyotomi Hideyoshi, dan
Tokugawa Ieyasu.
Pada masa Nobunaga, terjalin hubungan yang erat
dengan misionaris Kristen pada masa itu dan memberi kebebasan dalam
menyebarkan agama, bahkan mendapat perlindungan penuh dari pemerintah,
terutama di Kyoto. Perkembangan agama Kristen pada saat itu cukup pesat,
namun ada unsur politik dalam kebijakan tersebut, yaitu untuk meredam
pemberontakan yang banyak muncul oleh pendeta Buddha dari sekte Tendai.
Kepentingan yang lain yaitu untuk kepentingan dagang juga untuk
mendapatkan senjata, mesiu, meriam, dan lain-lain.
Hideyoshi juga
memberikan kebebasan menyebarkan agama kepada para misionaris, tetapi
orang asing yang berada di Jepang—khususnya para misionaris—semakin
banyak, sehingga pemerintah Jepang mengeluarkan sebuah peringatan yang
dikenal dengan nama “Bateren Tsuiho Rei” (The Purge Directive Order)
atau perintah pendeportasian dan pembatasan aktivitas para misionaris di
beberapa daerah. Pemerintah Jepang makin meningkatkan kewaspadaan
terhadap orang asing, terutama para misionaris Kristen, karena adanya
sebuah kapal Spanyol yang sempat singgah di Shikoku dengan persenjataan
lengkap yang diduga akan menduduki Jepang, sehingga kapal tersebut
ditenggelamkan.
Pada masa pemerintahan Ieyasu, hubungan diplomatis
antara Belanda dengan Jepang pun dimulai (1608). Pada awalnya Ieyasu
bersikap ramah dan toleran terhadap agama Kristen. Namun, kebijakan
anti-Kristen dimulai setelah terjadinya konflik perdagangan dan
perebutan pengaruh dengan pihak asing. Konflik tersebut mencapai klimaks
dengan terbunuhnya 40 orang Jepang oleh serangan kapal Portugis.
Kekhawatiran terhadap serangan dari pihak asing pun memuncak pada tahun
1635. Karena itu, Ieyasu mengeluarkan kebijakan politik pintu tertutup
(sakkoku) untuk membersihkan pengaruh asing secara besar-besaran,
termasuk pengikut Kristen. Namun, ada juga pengikut agama Kristen yang
tidak terjaring aksi pembersihan tersebut dan tetap menjalankan
aktivitas keagamaannya secara sembunyi-sembunyi. Mereka menjadi Kakure
Kirishitan selama hampir 250 tahun.
II. Konsep Tuhan dan Ajaran
Konsep
Tuhan yang diajarkan dalam agama Kristen adalah monotheisme, yaitu
mempercayai hanya satu Tuhan; Yesus Kristus. Konsep ini lebih sederhana
jika dibandingkan dengan kepercayaan awal Jepang yang cenderung
polytheisme atau percaya kepada banyak tuhan. Hal yang paling dituntut
hanya setia percaya kepada Yesus Kristus Sebagai Tuhan. Dan inti
ajarannya mengenai kasih. Kasih kepada Tuhan dengan jalan tetap taat dan
setia juga kasih terhadap sesama manusia dengan jalan saling
menghormati dan menghargai.
Dalam hal peribadatan, pada jaman Oda
Nobunaga, diadakan pembangunan beberapa gereja, salah satunya adalah
Gereja Nanbanji Christian (1564) di Kyoto karena pada saat itu Nobunaga
sangat mendukung penyebaran agama Kristen.
Namun konsep
monotheisme Kristen dianggap ancaman bagi agama lokal. Namun kelompok
yang paling merasa terancam adalah para shogun, karena prinsip yang
dimiliki para shogun cenderung mementingkan kesetiaan yang tanpa syarat
dan hal tersebut sangat bertentangan dengan Kristen yang menjunjung
kebebasan individu.
Dalam hal ritual keagaamaan, dilakukan di
gereja. Dalam ritual tersebut terdapat susunan acara yang telah
terstruktur. Untuk melaksanakan Ibadah perayaan Natal, Jumat Agung dan
Paskah dilakukan di gereja. Untuk menjadi seorang Kristen, terdapat
ritual khusus berupa baptisan. Baptisan ini ada dua macam, yaitu baptis
anak dan baptis dewasa. Baptis anak bertujuan menyerahkan anak tersebut
kepada Tuhan. Sedangkan baptis dewasa yaitu penyerahan hidup kepada
Tuhan secara total. Dalam prosedur baptisan dewasa, terdapat fase
pengenalan individu terhadap Tuhan secara pribadi dan mendalam agar
memperoleh pemahaman yang sebenarnya. Setelah fase pengenalan itu
selesai (kurang lebih selama 6 bulan untuk agama Kristen Katolik)
barulah individu tersebut siap dibaptis.
Dalam urusan pernikahan,
disebut juga pemberkatan nikah. Prosesi ini dilakukan di dalam gereja
dan dipimpin oleh pendeta. Sebelum diadakan pemberkatan nikah, pasangan
yang akan menikah harus mengikuti bimbingan pra-nikah. Tujuannnya adalah
pasangan tersebut dimatangkan sebelum terjun ke dunia keluarga dan agar
siap dalam menghadapi masalah-masalah keluarga yag nantinya mereka
hadapi.
Untuk upacara kematian, terdapat istilah malam
penghiburan. Hal itu dilakukan untuk menghibur pihak keluarga yang
ditinggalkan dan mengiringi kepergian terakhir dan dilakukan di rumah
yang sedang berduka. Ada sedikit kemiripan dengan agama Buddha yang
mengganti baju jenazah, dalam agama Kristen juga demikian. Hal ini
bertujuan untuk memberikan penghormatan yang layak. Jenazah disemayamkan
dalam keadaan rapi dan diletakkan di dalam peti mati yang kemudian
dimakamkan. Lain dengan agama Buddha yang mengkremasi jenazah.
III. Tokoh Pengembang Ajaran Agama Kristen di Jepang
Tokoh
pengembang agama Kristen kebanyakan adalah para Daimyo, karena mereka
yang pertama kali bersentuhan dengan Kristen. Daimyo yang mati sebelum
masa pelarangan (1587): Omura Sumitada, Otomo Sorin, Arima Yoshitada,
Kyogoku Takayoshi. Ada juga Daimyo yang meninggalkan kekristenannya pada
masa pelarangan: Kurota Yoshitaka, Arima Harunobu, Gamo Ujisato, Omura
Yoshiaki, Kobayagawa Hidekane, Ito Sukitake, Kyogoku Koji, Kyogoku
Takamoto, Terasawa Hirotaka, Mune Yoshitoshi, Oda Hidenobu. Dan ada juga
Daimyo yang berpegang teguh hingga akhir: Takayama Hidanokami, Takayama
Ukon, Konishi Yukinaga.
IV. Penganut Agama Kristen dan Perkembangannya
Pada
awalnya penganut agama Kristen di jepang adalah para Daimyo dan
menyebar ke masyarakat. Tercatat ada 17 Daimyo yang memeluk agama
Kristen. Akan tetapi, terdapat motivasi tersendiri dalam memeluknya,
baik karena tujuan dagang, militer, maupun murni karena keinginan
pribadi.
Namun dalam perjalanannya terdapat pelarangan penyebaran
agama Kristen dan pengusiran para misionaris dan pengikutnya. Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, kelompok orang yang lolos dari
pengusiran itu melakukan aktivitasnya secara sembunyi sembunyi menjadi
Kakure Kirishitan selama hampir 250 tahun. Mereka menyamarkan aktivitas
penyembahan kepada Maria seperti menyembah dewi Kannon. Setahun setelah
Jepang membuka beberapa pelabuhan perdagangannya pada tahun 1865,
sejumlah Kakure Kirishitan tersebut menyatakan keberadaan mereka
mengenai iman mereka dan sebagian yang lain memilih untuk tidak
meninggalkan tradisi mereka dan menjadi Hanare Kirishitan (Kristen yang
terpisah). Stelah tahun 1973, mulai berfungsinya undang-undang yang
menjamin kebebasan beragama dan perkembangan agama Kristen di Jepang
mulai masa cerah. Karena berakhirnya kecurigaan dan ketidak toleransian
terhadap agama Kristen yang ada.
Sampai sekarang, undang-undang
yang mengatur kebebasan beragama di Jepang masih berlaku dan membebaskan
agama secara penuh untuk berkembang, Negara tidak ikut campur di
dalamnya dan di dalam undang-undang. Agama hanya dianggap sebagai
kegiatan budaya saja. Pembangunan gereja yang berdampingan dengan kuil
tidak menjadi masalah yang serius. Konsentrasi penduduk yang memeluk
agama Kristen berada di Nagasaki – Kyushu, karena daerah itu adalah
tempat pertama yang bersentuhan langsung dengan budaya bangsa Eropa.
Bahkan ada di suatu daerah yang penduduknya mayoritas beragama Kristen.
Untuk kota-kota besar penduduknya lebih beragam.
Ada tokoh Kristen
yang populer: Shusaku endo (penulis, 1923), Ayako Sono (penulis wanita,
1931), Ohira Masayoshi (PM `78-`80), Hara Takahashi (PM `18-`21),
Ichiro Hatoyama (PM `54-`55), Tetsu Katayama (PM `47-`48) dan Shigeru
Yoshida (PM `46-`47 dan `48-`54).
Pada masa kini,
perayaan-perayaan Natal disambut dan dirayakan dengan meriah, bahkan
pasangan muda Jepang banyak yang memilih merayakan pernikahannya di
gereja. Namun ada sedikit ketidak sesuaian mengenai hal itu.
Berkembangnya trend pernikahan secara Kristen di kalangan pemuda Jepang
karena sistem dan tata cara yang lebih simpel dibanding dengan
pernikahan secara budaya Jepang dan lebih condong ke Eropa sentris,
sehingga kehilangan makna dari prosesi pernikahan Kristen itu sendiri.
V. Kesimpulan
Sebagai
agama baru di Jepang, agaa Kristen awalnya diterima dengan baik oleh
pemerinah Jepang dan bahkan mendapat dukungan penuh. Dukungan itu berupa
pembangunan beberapa gereja. Namun seiring dengan berjalannya waktu
menuai kecurigaan. Pada akhirnya, setelah restorasi Meiji, undang-undang
yang mengatur kebebasan beragama mulai dimaksimalkan fungsinya sehingga
masyarakat bebas memilih dan memeluk agama yang diyakininya. Dari
undang-undang kebebasan itu, sebagian besar kelompok kakure kirishitan
bisa menonjolkan diri di tengah masyarakat, namun masih ada juga yang
tidak dan memisahkan diri menjadi hanare kirishitan.
Aktifitas
keagamaan dan perayaan agama Kristen dilakukan di gereja. Seperti ibadah
rutin, Baptisan, pemberkatan Nikah, perayaan Natal, Paskah dan Jumat
Agung agar lebih kusyuk dan bermakna. Sekarang ini banyak pemuda Jepang
yang cenderung beralih ke agama Kristen pada saat melangsungkan
pernikahan karena prosesinya yang simpel. Dan hal itu menjadi trend.