PEDAHULUAN
Jumlah angka kelahiran di Jepang tiap tahun
mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan faktor kesehatan yang sangat
baik disana. Mengapa demikian? Karena makin sehat orang Jepang, usia
mereka makin panjang. Dan hal ini menyebabkan makin meningkatnya usia
tua yang tidak produktif. Tapi apa hubungannya dengan jumlah angka
kelahiran yang makin menurun? Makin meningkatnya jumlah penduduk usia
tua tidak diimbangi dengan penduduk usia produktif. Akibatnya penduduk
usia produtif tersebut mendapat tanggungan yang sangat besar dalam hal
pajak. Dari hal itu, menyebabkan menurunnya angka kelahiran.
Jika
berbicara tentang kelahiran, hal ini terkait dengan wanita. Sekarang ini
banyak wanita Jepang yang memilih untuk bekerja dalam rangka emansipasi
kesetaraan hak dan mengejar karir. Namun, hal itu malah menimbulkan
kesulitan baru di Jepang, yaitu menurunnya jumlah angka kelahiran yang
mana disebabkan para wanita yang mengejar karir tersebut menunda
perkawinannya ataupun menunda untuk memiliki anak meskipun sudah menikah
dan memilih untuk mengejar karir terlebih dahulu.
Dosen Sekolah
Tinggi Bahasa Asing (STBA) Lembaga Indonesia Amerika (LIA) Risma Delvina
Siahaan, mengatakan, dewasa ini pernikahan bagi sebagian wanita Jepang
hanyalah satu dari banyaknya pilihan hidup yang dapat dilakukan maupun
ditinggalkan sama sekali.
Dengan adanya anak di dalam keluarga
akan menimbulkan beban tersendiri. Belum lagi jika harus mengurusi orang
tua yang sudah lanjut usia yang ikut tinggal bersama. Tambah lagi, di
Jepang angka aborsi pun tinggi, karena saking belum inginnya memiliki
anak, jika hamil tidak sedikit wanita Jepang yang memilih untuk
menggugurkan kandungannya dengan jalan aborsi.
RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa wanita Jepang memilih untuk tetap menjadi seorang ibu?
2. Bagaimana peran wanita Jepang yang memilih menjadi seorang ibu dalam upaya membantu perekonomian negara?
TUJUAN
1. Untuk mengetahui penyebab mengapa wanita Jepang memilih untuk tetap menjadi seorang ibu
2. Untuk mengetahui peran wanita Jepang yang memilih menjadi seorang ibu dalam upaya membantu perekonomian negara
PEMBAHASAN
Pada
jaman Edo para wanita dididik untuk menjadi istri yang baik, yang
nantinya bertanggung jawab dalam urusan rumah tangga dan melahirkan
anak-anak. Konsep ryousaikenbo masih belum muncul karena wanita pada
jaman itu tidak bertanggung jawab atas pendidikan formal bagi anak-anak
mereka.
Pada jaman Meiji, konsep ini makin gencar diperkenalkan
dan di tanamkan agar selain menjadi istri yang baik, juga menjadi ibu
yang baik yang memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Karena, pada jaman
ini mulai muncul pendidikan formal bagi semua anak. Dan wanita
dianjurkan untuk selalu mendukung suami, bukan hanya patuh dan nantinya
akan menjadi guru yang baik. Karena sistem pendidikannya disama-ratakan
dengan pendidikan laki-laki.
Atas dasar konsep ryousaikenbo
tersebut yang sudah tertanam ke banyak ibu-ibu/wanita Jepang, merawat
dan melihat pertumbuhan anak adalah prioritas utama. Karena hal itu
merupakan tanggung jawab sebagai seorang ibu dan sorang istri yang baik
bagi keluarga.
Anak-anak yang besar tanpa pendidikan dan
pengenalan nilai dari seorang ibu, maka akan menjadi pribadi yang tidak
bermanfaat nantinya di masyarakat jika dewasa kelak. Penanaman nilai
tersebut seperti kecenderungan bahwa anak perempuan akan cenderung
memiliki permainan rika-chan ningyou, dimana mereka memakaikan baju pada
boneka tersebut dengan proporsi ideal. Hal ini merefleksikan gambaran
feminim orang Jepang.
Beberapa ibu Jepang suka mendandani anak
mereka dengan blus berenda dan rok pink atau merah. Mereka mengharapkan
anak perempuannya menjadi feminin. Anak-anak perempuan ini pun selalu
berusaha menjadi feminin seperti yang dikonstruksi masyarakat. Dengan
adanya figur seorang ibu saja masih bisa menyimpang dan bayangkan jika
tidak ada figur sorang ibu, generasi perempuan akan menyimpang dari yang
seharusnya.
Di Jepang, disamping dalam pembentukan kepribadian,
seorang Ibu mempunyai pengaruh besar dalam pergaulan anak. Ibu berusaha
membuat anaknya menarik, bahkan dalam upacara seperti seijin shiki atau
pernikahan. Para ibu sering menata baju anak perrempuan mereka meskipun
anaknya bukan anak kecil lagi.
Sementara suami bekerja, para istri
bertanggungjawab penuh atas pendidikan anak-anak mereka. Dalam
kapasitas dan perannya sebagai ibu rumahtangga inilah mereka membuktikan
hidupnya demi kepastian keturunannya mampu bersaing memasuki
sekolah-sekolah dengan pendidikan bermutu.
Para ibu berharap anak
perempuan mereka mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tetapi jarang
memaksa anak laki-laki mereka untuk mengerjakan tugas ini. Hal ini
karena mereka berharap anak perempuannya bisa menjadi “istri yang baik
dan ibu yang bijak” yang melayani suaminya nanti.
Jika dikaitkan
dengan kemajuan dan kesuksesan Jepang saat ini, itu pastinya tidak
terlepas dari peran wanita-wanitanya atau para ibu di Jepang. Para ibu
tersebut mengambil peran yang sangat besar dalam mendidik anak-anaknya.
Pada tahun 2001 terdapat 97.6% gadis Jepang tamat SMA. Sebanyak 48.5$
dari jumlah itu melanjutkan ke jenjang D3 dan S1 (Sumber: About Japan
Series 5, Fact & Figure of Japan 2002, Foreign Press Centre
Japan).
Hal yang menarik dan perlu dipahami juga yaitu diantara
mereka itu adalah para ibu-ibu Jepang yang usianya sudah di atas 50-60
tahun yang mendorong terus supaya putra putrinya agar selalu melanjutkan
studinya ke tingkat yang lebih baik. Mereka adalah ibu-ibu Jepang yang
justru saat itu hidup di tengah kondisi Jepang yang serba sulit yang
juga merupakan ibu-ibu yang bersemangat mendidik dan membesarkan putra
putrinya di tengah berkecamuknya perang dunia dan paham imperialisme
yang dianut Jepang pada saat itu.
Sementara suami bekerja, para
istri bertanggungjawab penuh atas pendidikan anak-anak mereka. Dalam
kapasitas dan perannya sebagai ibu rumahtangga inilah mereka membuktikan
hidupnya demi kepastian keturunannya mampu bersaing memasuki
sekolah-sekolah dengan pendidikan bermutu.
Ada sebuah pernyataan
dari anak-anak Jepang “Jika sudah besar nanti ingin jadi ibu” saat
ditanya jika sudah besar ingin jadi apa. Karena mereka beranggapan bahwa
seorang ibu seperti Dewi Amaterasu yang mereka puja, yang menerangi,
melindungi dan memberi kehangatan.
Bagi wanita Jepang yang memilih
melahirkan anak, mempunyai suatu pegangan secara ilmiah maupun dalam
tradisi Jepang, yaitu, mitsu no tamashi -masa-masa emas meletakkan
pendidikan dasar dalam usia tiga tahun pertama masa perkembangan pesat
otak seorang anak-, adalah penyebab utama ibu muda Jepang berpendidikan
meninggalkan lapangan kerja melaksanakan ikuji-meletakkan dasar
pendidikan berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya.
Agar para
ibu muda Jepang tidak perlu membantu mencari tambahan nafkah keluarga.
Pemerintah Jepang menyediakan permukiman sewa layak untuk para keluarga
muda, sejak dari jaman masih dinding terbuat dari papan hingga kini
beton bertingkat tahan gempa dengan fasum&fasos yang semakin
maju seperti tehnologi informasi.Tanpa didorong-dorong namun dengan daya
tarik berupa sistim keamanan sosial, sarana& prasarana serta
pengetahuan yang semakin baik. Secara alamiah nilai keibuan yang
dimiliki sebagian besar wanita Jepang bisa berkembangan
menumbuh-kembangkan anak-anak beserta lingkungan.
Diplomasi Jepang
di luar Jepang tentang peranan wanita Jepang sebagai senggyo syuhu -ibu
rumah tangga profesional- dan kyoiku mama-ibu pendidikan,memang nyaris
tidak terdengar. Namun dalam aplikasinya di kehidupan sehari-hari sangat
gencar dan berkelanjutan. Setelah selesai membesarkan dan merawat
anaknya, kebanyakan wanita Jepang akan bekerja. Dan kebanyakan pekerjaan
yang dipilih adalah pekerja paruh waktu. Dan hal ini menjadi trend di
kalangan ibu-ibu Jepang.
Dinas pekerjaan umum tahun 2003 mencatat
jumlah seluruh angkatan kerja wanita di Jepang sebanyak 25.5 juta yang
41. 4 % (9.3 juta). Mereka bekerja sekitaran 6 jam per hari kurang dari
35 jam dalam seminggu dan digaji rata-rata per jam 809 yen. Lapangan
pekerjaan yang biasanya mereka geluti adalah retail kecil, grosir, atau
industri makanan (34,6%), industri jasa (29,1%) dan industri pabrik
(1,3%).
Karena kewajiban memantau anak di rumah membutuhkan waktu
sebentar, ibu-ibu Jepang masa kini aktif dalam dunia kerja, meskipun
sebagian besar part time berupa pekerjaan sampingan dan sementara.
Pekerja part time wanita tampaknya bekerja dengan alasan yang sama
seperti wanita yang bekerja full time, yaitu untuk mendapat penghasilan
tambahan untuk mereka sendiri maupun keluarga.
Namun ternyata bagi
mereka, mempunyai kemandirian ekonomi dan menyadari potensi diri
bukanlah alasan sebenarnya untuk bekerja, melainkan hanya untuk mengisi
waktu luangnya saja karena anak-anak mereka sudah dewasa dan bisa
mandiri. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa penghasilan yang
diperoleh sedikit banyak membantu finansial keluarga.
Banyak
ibu-ibu yang memilih bekerja part time di retail kecil, grosir, atau
industri makanan, industri jasa dan industri pabrik karena banyak
perusahaan Jepang yang menolak untuk menerima ibu-ibu dalam bekerja di
perusahaan. Terutama perusahaan tempat seorang ibu itu bekerja
sebelumnya.
Mengapa demikian? Karena banyak perusahaan Jepang yang
memberikan di awal kontrak terhadap wanita yang bekerja ingin berkaris
atau tidak. Jika tidak dan harus berhenti karena harus merawat anak,
maka nantinya tidak bisa kembali bekerja di perusahaan dan posisi yang
sama.
Di Jepang memang banyak wanita yang mengejar karir untuk
meningkatkan taraf hidup yang lebih baik, namun hal itu sudah mengalami
penrunan tiap tahunnya. Data pemerintah menunjukkan bahwa wanita Jepang
yang berusia 27 tahun yang keluar dari lapangan kerja untuk alasan
membesarkan anak justru malah mengalami peningkatan.
Mereka
berhenti karena mereka meyakini bahwa mendidik anak dengan kemampuan
sendiri akan membuahkan hasil yang lebih baik. Dan juga karena di Jepang
sangat susah untuk menemukan pembantu rumah tangga layaknya di
Indonesia. Kalaupun ada, pasti memakan biaya yang sangat mahal. Sehingga
mau tidak mau mereka harus merawat sendirian dan mendidik anaknya dan
juga melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti memasak,
membersihkan rumah dan lainnya.
Bilamana misalnya seorang ibu
adalah wanita karir yang harus bekerja dan pulang ke rumah sore hari,
mereka rela bekerja lagi urus pekerjaan rumah dan anaknya sampai
malam-malam dan pada waktu ibu-ibu tersebut libur bekerja hari sabtu,
mereka menggunakan waktu tersebut untuk mengantar dan jemput serta
menemani anaknya belajar di tempat kursus-kursus sesuai dengan minat
yang mereka tekuni. Dengan melihat permasalahan ini, bisa dikatakan
hanya masalah urusan anak saja mereka sudah sangat sibuk.
Ada
sebuah pertanyaan terlontar kepada ibu-wanita Jepang mengapa mereka
tidak mencari pembantu rumah tangga. Sebagian besar mereka menjawab
bahwa mereka ingin, tapi mereka lebih menginginkan untuk mengurus dan
membesarkan anaknya dan tidak ingin diserahkan kepada orang lain, sesuai
dengan pemikiran ryousaikenbo.
Lain dengan wanita Indonesia yang
lebih cenderung mengejar karir dan rela menitipkan anak mereka kepada
orang tua ataupun pengasuh. Mereka tidak mau repot-repot mengasuh anak
sedang mereka sendiri masih repot dengan pekerjaan yang menumpuk.
Akibatnya kebanyakan sang anak tumbuh dengan nilai dan norma yang bukan
dari orang tua (ibu) kandung. Dan nantinya akan menciptakan generasi
yang tidak baik bagi keluarga maupun masyarakat.
Perempuan Jepang
membantu kemajuan bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis
dan sosialisasi. Secara akademis, mereka berusaha belajar dan bersekolah
justru bukan untuk kepentingan karir diri mereka sendiri. Mereka
bersekolah justru agar bisa mengajari anak-anak mereka lebih baik.
Sedangkan dari aspek sosialisasi, mereka mengajarkan anak-anak mereka
bertingkah laku dengan kesopanan tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
Ada
kejadian nyata di Jepang yang sering disiarkan di televisi Jepang,
yaitu seorang ibu (Kanazawa) dengan giatnya rela mengajari anaknya
layaknya guru di sekolah karena anak perempuannya (Shoko) mengalami
sedikit gangguan mental dan susah bicara tetapi yakin anak tersebut bisa
diajari. Ibu itu giat mengajar ilmu cara menulis kaligrafi huruf kanji
kepada Shoko yang tidak bisa diterima di sekolah normal.
Akhirnya
Shoko menjadi terkenal di Jepang karena prestasinya bisa membuat karya
seni kaligrafi Jepang dengan mengherankan dan juga berkeliling Jepang
untuk menyemangati banyak anak sambil mengajar kaligrafi. Sampai saat
inipun Ibu tersebut dengan setianya selalu mendampingi Shoko karena
susah bicara dan menjadi managernya.
Kisah yang lain dari ibu muda
bernama Imai Eriko yang merupakan penyanyi Jepang anggota grup musik
terkenal yang bernama Speed yang rela cuti dari kegiatan menyanyinya
beberapa waktu hanya khusus untuk mempelajari ilmu bicara bahasa isyarat
karena anak laki-lakinya sejak lahir menderita tuna wicara. Dia dengn
giatnya belajar dan mengajar anaknya bahasa isyarat sampai anak itu
lancar berbicara dengan siapapun dengan bahasa isyarat khususnya dengan
ibunya. Hal yang mengherankan adalah Imai Eriko selain masih bekerja
sebagai artis penyanyi, dia juga selalu muncul di televisi NKH dalam
acara “Minna no Shuwa” yaitu acara khusus untuk penderita tuna wicara
sebagai pembawa acaranya.
Secara garis besar, peran wanita Jepang
sebenarnya sangat besar, terutama dalam membangunpondasi generasi
penerusnya. Masyarakat Jepang sering memandang sebelah mata tentang
keudukan perempuan yang diangggap tidak memiliki nilai dan tempat.
Namun, pada kenyataannya keberadaan wanita sangat diperlukan, terutama
dalam mendidik dan mengarahkan anaknya. Jika tidak, Jepang tidak akan
menjadi negara seperti sekarang ini. Kerja dan pengaruh perempuan Jepang
dapat dilihat dalam jalannya pendidikan nasional Jepang dan stabilitas
sosial, yaitu dua hal yang sangat krusial bagi keberhasilan ekonomi
suatu bangsa.
KESIMPULAN
Perempuan/wanita
Jepang memiliki peran yang sangat penting. Sejak jaman Tokugawa sampai
Meiji penekanan fungsi perempuan dalam sebuah keluarga mulai dan makin
ditekankan, yaitu perempuan selain menjadi istri yang baik, juga harus
bisa menjadi ibu yang baik pula bagi anak-anaknya. Karena pada masa itu
pemerintah mulai memperhatikan betapa pentingnya pendidikan. Sehingga
selama suami bekerja di luar, urusan rumah dan anak diserahkan kepada
istri.
Jadi, perkembangan perilaku dan endidikan anak dipercayakan
kepada istri. Namun Karena diharapkan anak mendapatkan pendidikan moral
dan nilai-nilai positif utama harus dari lingkungan keluarga. Disanalah
peran ibu bermain.
Namun seiring dengan perubahan jaman, banyak
wanita yang beralih menjadi wanita karir dan mengesampingkan urusan
keluarga (menikah). Akan tetapi tidak semua wanita Jepang seperti itu.
Tidak sedikit pula wanita Jepang yang masih peduli dengan pendidikan dan
perkembangan anaknya. Meskipun awalnya mereka berkarir, namun mereka
memilih untuk berhenti bekerja demi untuk merawat dan membesarkan
anaknya agar menjadi pribadi yang baik.
Para ibu itu meyakini
bahwa membesarkan dan merawat sendiri anaknya akan membawa hasil yang
lebih baik., dan itu dapat dilihat dalam keadaan Jepang sekarang ini.
Apa yang terjadi pada Jepang sekarang ini tidak lepas dari peran para
ibu yang konsisten untuk tetap mendidik anaknya walau mengalami masa
yang sulit, terutama saat Jepang mendapatkan Bom Atom di Hiroshima dan
Nagasaki.
Para ibu pada saat itu tidak menyerah dengan keadaan dan
tetap mendorong anak-anaknya agar terus melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Hal itu sekarang mencetak generasi ibu-ibu
yang serupa, yang memperhatikan perkembangan anaknya.
Setelah
selesai merawat anaknya hinga dewasa, kebanyakan para ibu itu akan
memilih bekerja. Dan pekerjaan yang paling diminati adalah bekerja paruh
waktu untuk mengisi waktu luang dan mendapatkan pemasukan tambahan.
Pemasukan tambahan itupun nantinya dialokasikan ke pendidikan anaknya.
Karena banyak orang tua yang menginginkan anaknya berpendidikan tinggi
agar nanti bisa lebih baik, bagi dirinya dan bagi keluarganya kelak.
Seperti halnya yang dilakukan ibunya sebelumnya. Seorang ibu harus
berpendidikan tinggi agar bisa mengajari anaknya.
Sepertinya tidak
terlihat peran yang mencolok seperti halnya yang dilakukan oleh kaum
pria. Tapi yang dilakukan tersebut merupakan hal yang fundamental bagi
Jepang, yakni meniapkan generasi mudanya ke arah yang lebih baik guna
membentuk negara yang jauh lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bitstream Chapter 2 abstraksi.pdf .http://repository.usu.ac.id/.diakses pada tanggal 2 juli 2011
Manajemen Waktu – Membagi Waktu Antara Rumah dan Kerja.http://bundazone.com/ .diakses tanggal 2 Juli 2011
Meneladani Sikap Kartini Pada Wanita Jepang.http://edukasi.kompasiana.com/.diakses pada tanggal 2 juli 2011
Secara Global Tren Ibu Bekerja Menurun Bagaimana Indonesia.http://swa.co.id/.diakses pada tanggal 2 Juli 2011