Rabu, 27 Juli 2011

pekerja paruh waktu jepang

Trend yang mencolok di antara orang Jepang adalah peningkatan jumlah pekerja paruh waktu (kurang dari 35 jam seminggu). Proporsi pekerja paruh waktu wanita meningkat terus menerus dari 8,9% (570.000 pekerja) di tahun 1960, menjadi 30,7% (5,92 juta pekerja) di tahun 1992. Tahun 1992, seluruh pekerja paruh waktu di Jepang berjumlah 8,68 juta orang, 68,2%nya adalah wanita.
Dinas pekerjaan umum tahun 2003 mencatat jumlah seluruh angkatan kerja wanita di Jepang sebanyak 25.5 juta yang 41. 4 % (9.3 juta). Mereka bekerja sekitaran 6 jam per hari kurang dari 35 jam dalam seminggu dan digaji rata-rata per jam 809 yen. Lapangan pekerjaan yang biasanya mereka geluti adalah retail kecil, grosir, atau industri makanan (34,6%), industri jasa (29,1%) dan industri pabrik (1,3%).
Faktanya 80,6% pekerja paruh waktu ini menikah dan 54,9% diantaranya memiliki anak. Dari kelompok ini, sejumlah besar telah selesai memantau pendidikan wajib anak mereka. 82,3% memiliki anak usia sekolah, 9,5% anak-anak usia dini atau belum sekolah, dan 8,2% memiliki keduanya.
Karena kewajiban memantau anak di rumah membutuhkan waktu sebentar, ibu-ibu Jepang masa kini aktif dalam dunia kerja, meskipun sebagian besar part time berupa pekerjaan sampingan dan sementara. Pekerja part time wanita tampaknya bekerja dengan alasan yang sama seperti wanita yang bekerja full time, yaitu untuk mendapat penghasilan tambahan untuk mereka sendiri maupun keluarga.
Bagi wanita yang bekerja peruh waktu, mempunyai kemandirian ekonomi dan menyadari potensi diri bukanlah alasan sebenarnya untuk bekerja, melainkan hanya untuk mengisi waktu luangnya saja karena anak-anak mereka sudah dewasa dan bisa mandiri. Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa penghasilan yang diperoleh sedikit banyak membantu finansial keluarga.
Jika dilihat dalam film Arroun 40, memperlihatkan bahwa seorang ibu yang sudah selesai membesarkan anaknya (usia SMA) mengalami kebosanan jika hanya menjadi ibu rumah tangga biasa. Yang hanya mengurusi urusan rumah tangga; anak dan suami. Tidak bisa mengekspresikan diri lebih lanjut dan tidak bisa berinteraksi dengan orang-orang selain kalangan ibu rumah tangga.
Masih berdasar film tersebut, jika seorang ibu kembali bekerja akan bisa menambah tingkat intelektualitas dari pergaulan dengan orang-orang yang selain kelompok ibu rumah tangga. Bukan hanya sekedar mendapat uang pribadi untuk keperluan pribadi, tapi lebih untuk pengalaman dan suasana yang baru dengan berinteraksi dengan orang yang bervariasi. Jika hanya berkutat dengan kehidupan rumah tangga yang memiliki waktu luang namun tidak bisa mengisi dan menghasilkan apa-apa akan terasa hambar dan membosankan.
Selain itu juga di Jepang sedang dilakukan penyetaraan kesempatan kerja antara pria dengan wanita. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh perempuan-perempuan muda dan golongan ibu-ibu. Karena jika mereka mendapat larangan untuk bekerja, mereka bisa menggunakan undang-undang ini sebagai alasan agar mereka bisa tetap bekerja.
Tapi mengapa para ibu tersebut tidak kembali bekerja di perusahaan sebelumnya? Hal ini dikarenakan banyak dan sebagian besar perusahaan Jepang tidak memperbolehkan wanita yang sudah memiliki anak kembali bekerja di perusahaan tempatnya bekerja sebelumnya. Dan perusahaan jepang tersebut lebih mementingkan pekerja yang masih fresh agar bisa optimal dalam bekerja dan sedikit yang mempekerjakan ibu-ibu.
Kekhawatiran dari beberapa minoritas perusahaan yang masih merasa takut bahwa ibu bekerja kurang dapat menunjukkan komitmen dan fleksibilitas dibanding karyawan lainnya (37%), menghilang dari perusahaan setelah masa pelatihan selesai untuk memiliki anak lain (33%) atau memiliki keterampilan yang kurang terkini (24%).
Seharusnya, mayoritas bisnis saat ini menghargai ibu rumah tangga yang kembali bekerja, dengan 72% menyatakan bahwa mereka percaya perusahaan-perusahaan yang mengabaikan kembalinya ibu bekerja paruh waktu akan kehilangan bagian penting dan berharga dari kelompok pekerja. Selain itu, 56% sepenuhnya menganggap bahwa ibu bekerja menawarkan keterampilan yang sulit ditemukan di pasar saat ini, dan 57% menyatakan bahwa mereka menghargai ibu bekerja karena mereka menawarkan pengalaman dan keterampilan tanpa menuntut gaji tinggi.
Oleh karena itu, para ibu-ibu tersebut lebih cenderung memilih bekerja di retail kecil, grosir, atau industri makanan, industri jasa, dan industri pabrik kerena tidak menemukan hambatan seperti peraturan dan kontrak yang terlalu mengika dan mereka bisa lebih leluasa dalam bergaul. Yang utama adalah agar mereka bisa nyaman dalam mengisi waktu luang mereka.

Tidak hanya di Jepang, di Indonesia pun juga ada pekerja paruh waktu yang dilakoni oleh wanita dan mungkin dalam bidang yang hampir sama namun dengan alasan dan tujuan yang berbeda. Jika di Jepang dengan alasan ingin mengisi waktu luang karena kewajiban membesarkan anak sudah berakhir, di Indonesia lebih menekankan untuk menambah kebutuhan finansial. Meskipun memiliki anak yang masih kecil, masih akan meneruskan bekerja. Terlebih lagi jika sudah tidak memiliki suami atau suami yang sudah tidak bekerja. Maka, banyak ibu-ibu yang memutuskan untuk bekerja paruh waktu.
Namun, karena tingkat pendidikan di indonesia masih belum menjangkau semua kalangan masyarakat, terutama wanita. Banyak kaum wanita di Indonesia yang beranggapan tidak perlu berpendidikan tinggi untuk bisa bekerja, akibatnya banyak wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Entah itu pembantu rumah tangga yang menetap ataupun yang hanya panggilan.
Untuk pembantu rumah tangga panggilan, biasanya jam kerjanya adalah sekitar 12 jam kemudian bisa pulang dan mendapat makan. Untuk upahnya msih menggunakan hitungan per hari atau pertemuan, bukan seperti di Jepang yang menggaji dengan satuan jam. Gaji yang diterima biasanya sekitar Rp. 25000 – Rp. 50000 /hari. Hal ini hampir ditetapkan untuk semua pekerjaan paruh waktu di Indonesia.
Jika dikaitkan dengan sebuah perusahaan, seorang wanita yang bekerja di perusahaan tersebut masih akan bisa bekerja di perusahaan dan posisi yang sama. Bila dibandingkan dengan ekspektasi perekrutan karyawan global, 45% dari perusahaan global bermaksud untuk merekrut karyawan baru pada tahun 2011. Studi Regus menunjukkan bahwa niat mempekerjakan ibu bekerja telah jatuh jauh di bawah tingkat ini, hal ini menyebabkan kekhawatiran yang cukup besar bagi keluarga, kelompok-kelompok wanita termasuk pemerintah.
Meski demikian, di Indonesia justru terdapat perbedaan tren, 55% perusahaan berencana untuk menambah karyawan dan terdapat 60% perusahaan menyatakan bahwa mereka berencana untuk mempekerjakan lebih banyak ibu bekerja. Di Indonesia, ibu bekerja tidak menuntut gaji lebih tinggi dibanding rata-rata global (75%), hal ini kemungkinan menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai kesetaraan gaji antara ibu bekerja dan rekannya.
“Di Indonesia, dimana partisipasi perempuan dalam pekerjaan hampir 38%, dengan mengakui kebutuhan ibu bekerja tidak dapat diabaikan dan dengan perlakuan ibu bekerja yang setara dengan pekerja lainnya, akan memberikan manfaat produktifitas dan pengurangan biaya overhead, serta membuat staff lebih termotivasi,” ujar William Willems, VP South East Asia dan ANZ Regus.
Disini bisa kita lihat, sebenarnya baik pria ataupun wantita, terutama yang sudah ibu-ibu masih bisa mendapatkan dan diperbolehkan bekerja. Karena Indonesia kini makin meningkatkan produktifitas industrinya dan hal terebut akan menyedot banyak tenaga kerja. Jika hanya mencari pekerja usia usia muda tidak akan bisa mencapai hasil yang maksimal. Dan industri-industri wirausaha sekarangpun juga bersaing dengan industri kontemporer dalam peningkatan produksi, dan bisa dibilang juga bersaing dalam perekrutan tenaga kerja.
Namun, kendala yang dihadapi adalah masalah dana. Perekonomian negara yang tidak menentu kepastiannya mendorong banyak wanita/ibu-ibu untuk bekerja tidak diimbangi dengan suntikan dana untuk pelaku industri. Sehingga biarpun banyak ibu-ibu yang ikut bekerja, tetap saja perekonomian keluarga masih belum bisa tercukupi secara maksimal.

KESIMPULAN
Di Jepang, tren bekerja paruh waktu sangat diminati, utamanya untuk kalangan ibu-ibu usia 40 keatas. Alasan utama yang mendasarinya adalah karena mereka memiliki banyak waktu luang setelah 15 tahun mendidik dan membesarka anak, bukan karena menyalurkan keahlian atau demi uang. Namun juga tidak bisa dipungkiri sedikit banyak uang atau gaji yang didapat bisa membantu ekonomi keluarga, biaya pendidikan lanjut untuk anak ataupun untuk diri sendiri. Ibu-ibu tersebut lebih cenderung memilih bekerja di retail kecil, grosir, atau industri makanan, industri jasa, dan industri pabrik. Karena sulit sekali menemukan perusahaan yang mau menerima ibu-ibu usia tersebut untuk bekerja kembali.
Sedang di Indonesia, bekerja paruh waktu yang dilakukan ibu-ibu (usia yang sama) bukan karena juga memiliki banyak waktu luang, tapi lebih karena faktor ekonomi. Meskipun memiliki anak yang masih kecil pun juga memutuskan untuk bekerja lagi jikalau sudah keluar dari tempat kerja semula dan tidak bisa kembali ataupun kembali bekerja di tempat yang sama setelah mengambil cuti beberapa bulan.
Untuk masalah pembayaran gaji, wanita/ibu-ibu pekerja paruh waktu dalam bekerja dihitung berapa jam dia bekerja. Dalam sehari, rata-rata bekerja 6 jam. Sedangkan di Indonesia dihitung per hari dia bekerja. Dan dalam sehari bekerja bisa mencapai lebih dari 10 jam.

0 komentar:

Posting Komentar

 

iseng iseng © 2008. Design By: SkinCorner