BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Jepang pasca Perang Dunia ke-2 menjadi negara
demokratis yang lebih memilih
untuk bersahabat dan mementingkan demokrasi untuk membina hubungan dengan
negara lain secara
damai. Tujuan
pokok politik luar negeri Jepang adalah memberikan sumbangan bagi perdamaian
dan stabilitas dunia[1]. Karena
melalui cara tersebut dapat mengarahkan dalam pencapaian keamanannya sendiri
dan kemajuan kesejahteraan rakyatnya[2].
Hubungan atau interaksi antara Jepang dengan Indonesia sendiri
telah ada sejak lama, bahkan jauh
sebelum Jepang datang untuk menjajah Indonesia. Kecenderungan
yang mereka lakukan adalah aktivitas dagang[3],
terutama penduduk dari kawasan Kyuushuu. Di Indonesia sendiri, pada tahun 1897
(Meiji 30), terdapat 125 orang Jepang[4] dan pada
tahun 1909 terdapat 614 orang Jepang[5]. Juga
pada saat Indonesia sedang dijajah Belanda dalam hal pengiriman pelajar
Indonesia ke Jepang untuk belajar di Jepang[6]. pada
saat Jepang menjajah Indonesia pun juga
terdapat pengiriman pelajar ke Jepang[7].
Masa pendudukan Jepang atas Indonesia selama tiga
setengah tahun merupakan periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Selama pendudukan Jepang banyak sekali
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia menuju ke arah
revolusi[8]. Dimana
terjadi perubahan strata pendidikan di kalangan masyarakat Indonesia hingga
memunculkan pergerakan pemuda di Indonesia. Rakyat Indonesia menjadi makin
berani untuk melakukan perlawanan dengan Belanda[9], juga
menjadikan pendidikan sebagai hal yang penting yang sebelumnya mendapat
perlakuan minor dari pihak Belanda[10].
Tanggal
20 Januari 1958 merupakan tanggal yang paling bersejarah. Tanggal tersebut
merupakan awal hubungan diplomatik dan ditandatangani traktat damai dan
pampasan perang antara pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia[11],
lalu hubungan diplomatik Indonesia – Jepang secara resmi dimulai pada April
1958[12].
Kunjungan lawatan Soekarno yang pertama ke Jepang dilakukan pada tanggal 6 Juni
1959 untuk membahas mengenai pampasan perang dan kerjasama. Sejak akhir 1960-an
hubungan ekonomi antara Indonesia dan Jepang sangat erat. Bagi Indonesia,
Jepang adalah negara paling penting bagi ekspor-impornya. Bagi Jepang,
Indonesia negara nomor dua sesudah Amerika Serikat dalam jumlah
ekspor-impornya. Jepang menanamkan modalnya di Indonesia, terbesar di antara
negara-negara berkembang. Begitu pula jumlah bantuan ekonominya[13].
Joseph S. Nye dalam bukunya Soft
Power- The Means to Success in World Politics, mengungkapkan soft
power sebagai kemampuan mencapai tujuan dengan tindakan atraktif dan menjauhi
tindakan koersif. Di tataran hubungan internasional, soft power diawali dengan membangun hubungan kepentingan, asistensi
ekonomi, sampai tukar menukar budaya dengan negara lainnya[14]. Hal
itulah yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia yang merupakan salah satu
bekas negara jajahannya berupa bantuan ekonomi atau pinjaman lunak.
Hubungan atau interaksi tersebut sebagian besar adalah
dalam urusan ekonomi (perdagangan dan investasi). Jepang mengimpor banyak sumber
daya alam dari Indonesia berupa gas alam, terlebih sejak gempa yang terjadi pada
11 maret 2011[15].
Jepang memasarkan produk-produk industrinya ke Indonesia karena Jepang
menginginkan Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya menjadi tempat yang
penting bagi masa depan perekonomiannya yang dilandaskan hubungan yang saling
menguntungkan dan dapat ditingkatkan. Namun, dalam perkembangannya tidak hanya dalam urusan ekonomi saja, melainkan hampir ke semua aspek, khususnya dalam
bidang pendidikan dan kebudayaan. Jepang memberikan beasiswa bagi pelajar asing untuk belajar
di universitas-universitas di Jepang. Juga, pembuatan pusat kebudayaan Jepang
sebagai sarana infiltrasi budaya[16].
Jepang secara terbuka membuka
beasiswa bagi pelajar Indonesia yang ingin belajar ke Jepang. Setelah melewati
berbagai macam seleksi segera mereka akan diberangkatkan, namun sebelum itu
mereka mendapat pembekalan mengenai bahasa Jepang di lembaga-lembaga pendidikan
yang ada ataupun belajar dari alumni yang sudah pernah ke Jepang sebelumnya. Seiring
dengan meningkatnya kualitas hubungan persahabatan dan kerjasama Indonesia
dengan Jepang di banyak bidang. Hingga sampai pada saat ini, pelajaran bahasa
Jepang diselenggarakan di SMA, universitas, dan tempat kursus bahasa asing.
Minat pembelajar bahasa Jepang di Indonesia cukup besar[17]. Dari
tahun ke tahun terus bertambah, baik dari jumlah pembelajarnya maupun lembaga
penyelenggaranya.
Data survey Japan Foundation tahun 1998
menyebutkan terdapat 413 intitusi penyelenggara pendidikan bahasa Jepang (pendidikan
menengah, pendidikan tinggi maupun institusi non kependidikan), dengan jumlah
pengajar sebanyak 1.159 pengajar dan 54.016 pembelajar bahasa Jepang[18].
Pada tahun 2003 terjadi peningkatan jumlah intitusi yang menyelenggarakan
pendidikan bahasa Jepang, yaitu menjadi 608 institusi, jumlah pengajar menjadi
1.702 orang, sedang pembelajar sejumlah 85.221 orang[19].
Pada tahun 2006 juga terjadi peningkatan yaitu terdapat 1.084 institusi
penyelenggara pendidikan bahasa Jepang, 2.651 pengajar dan 272.719 pembelajar
bahasa Jepang di Indonesia[20].
Pada tahun 2009 terdapat 1.988 institusi penyelenggara pendidikan bahasa
Jepang, 4.089 pengajar bahasa Jepang dan 716.353 pembelajar bahasa Jepang di
Indonesia[21]. Pada
tahun 2012 terdapat 2,346 institusi penyelenggara pendidikan bahasa Jepang, 4,538
pengajar bahasa Jepang dan 872.411 pembelajar bahasa Jepang di Indonesia[22].
Dilihat dari
latar belakang dalam mempelajari bahasa Jepang, ada tiga hal umum yang menjadi
latar belakang dalam mempelajari bahasa Jepang, yaitu tertarik akan budaya
Jepang, berminat untuk mempelajari bahasa Jepang dan ingin berkomunikasi dengan
bahasa Jepang. pada tahun 1998, faktor yang paling mendasari meningkatnya
pembelajar bahasa Jepang di Indonesia adalah karena ingin meningkatkan
kemampuan berbahasa Jepang untuk mendapatkan kesempatan kerja di perusahaan
Jepang. Pada tahun 2003 kecenderungannya adalah untuk masuk di perguruan tinggi
di Jepang. Pada tahun 2006 kecenderungannya untuk bekerja di perusahaan Jepang.
Pada tahun 2009 kecenderungannya karena tertarik akan budaya dan membahami
bahasa Jepang. pada tahun 2012 didorong oleh kesenangan pada budaya Jepang[23].
Di
Jawa Timur, peminat bahasa Jepang merupakan yang tertinggi kedua setelah Jawa
Barat. Menurut Masaaki Takano, hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya
pelajar yang mendapat beasiswa pergi ke Jepang. Tidak hanya itu, menurut Rektor
Untag Surabaya, Prof. Dr. Hj. Ida Ayu Brahmasari, drg. Diphl, MPA juga
menyatakan hal yang sama saat menghadiri acara Kanji Cup yang diadakan Konjen
Jepang di Surabaya bekerjasama dengan Untag pada Maret 2011[24].
Sekitar pada tahun 1980-1990-an ada tiga
universitas di Jawa Timur yang menyelenggarakan pendidikan bahasa Jepang, yaitu
Unesa, sebagai universitas Negeri pertama tingkat sarjana yang menyelenggarakan
pendidikan bahasa Jepang di Jatim awal tahun ’80-an, disusul Unitomo pada tahun
1992 dan kemudian Untag pada tahun 1994[25].
Hingga sampai kisaran tahun 2006, jumlah universitas yang mengadaklan
pendidikan bahasa Jepang menjadi enam, diantaranya; Universitas Pesantren
Tinggi Darul Ulum, Unibraw, Unair, Unesa, Unitomo dan Untag.
Di
Surabaya sendiri terdapat empat Universitas penyelenggara pendidikan bahasa
Jepang. Bahasa Jepang dinilai penting untuk dimasukkan ke dalam pendidikan
perguruan tinggi dikarenakan tidak sedikit perusahaan Jepang yang berinvestasi
di Surabaya. Penguasaan terhadap bahasa asing terutama bahasa Jepang memiliki
prospek yang cukup menjanjikan di Surabaya. Ketersediaan lapangan pekerjaan,
jika menguasai bahasa Jepang tidak lagi terbatas pada lapangan pekerjaan yang
ada di Indonesia tetapi juga di Jepang. Tidak hanya itu pula, jumlah peminat
terhadap bahasa dan budaya Jepang makkin berkembang di kampus-kampus di
Surabaya[26].
B.
Rumusan
Masalah
Berdasar
hasil observasi yang dilakukan penulis dari tahun 2011, penulis menduga kuat
bahwa peminatan akan bahasa Jepang di Surabaya mengalamai peningkatan. Hal ini
dapt dilihat dari jumlah pendaftar perguruan tinggi baik negeri maupun swasta
yang bertambah. Tidak hanya itu, peserta lomba-lomba kemampuan berbahasa dan
pengetahuan budaya Jepang yang sering diadakan oleh fakultas yang memiliki
jurusan bahasa dan sastra Jepang pun mengalami peningkatan.
Tidak
hanya dari dalam Surabaya saja, tapi dari luar Surabaya pun dan bahkan di
hampir seluruh Jawa Timur. Penulis mensinyalir bahwa bahasa Jepang sudah mulai
diterima oleh dan menarik perhatian masyarakat (khususnya Surabaya) untuk
dipelajari. Beerdasar hal tersebut, penulis mencoba menarik sebuah permasalahan,
yaitu:
·
Bagaimana perkembangan pendidikan bahasa
Jepang di Surabaya, khususnya di tingkat perguruan tinggi, antara tahun 1980 –
2013 yang meliputi: mulai dari kapan mulai diperkenalkan, dimana, siapa sasaran
pertama hingga menyangkut kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran di
masyarakat.
Pada
tahun 1980 berdiri jurusan pendidikan Bahasa Jepang di Unesa sebagai
universitas penyelenggara pendidikan bahasa Jepang pertama di Surabaya.
C.
Tujuan
dan Manfaat
Tujuan
dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab permasalahan yang penulis
temukan yaitu mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan bahasa Jepang di
Surabaya. Saat penulisan ini selesai diharapkan dapat memberikan informasi
bagaimana perkembangan bahasa Jepang di Surabaya, baik bagi masyarakat umum
maupun tingkat perguruan tinggi dan lembaga-lembaga yang terkait dengan
pendidikan bahasa Jepang di Surabaya. Karena hal yang berbau tentang Jepang di
Surabaya yang dikenal masih terbatas pada budaya populer Jepang yang banyak
digemari masyarakat, khususnya para pemuda Surabaya. Diharapkan penulisan ini
nantinya akan membantu masyarakat di Surabaya agar bisa mengetahui bahwa Jepang
dan bahasanya tidak bisa dipisahkan dan layak untuk dipelajari oleh semua
kalangan.
D.
Landasan Teori dan Konsep
Teori
yang mendasari penulisan skripsi ini adalah teori pendidikan bahasa, yaitu seperangkat
konsep-konsep tentang pendidikan yang berangkat dari asumsi-asumsi mendasar
mengenainya. Konsep yang dimaksud bisa dimulai dengan konsep mengenai manusia,
yang bisa sebagai peserta didik maupun pendidik, dan juga sekaligus alat yang
diperlukan untuk pendidikan itu sendiri[27].
Dalam teori pendidikan, terdapat sebuah asumsi tentang pendidikan itu sendiri
berdasarkan kondisi atau kenyataan yang ada di lapangan[28], tujuan
ideal yang ingin dicapai dan norma yang ingin dicapainya[29].
Teori
yang selanjutnya adalah teori belajar bahasa[30]. Belajar adalah acquiring or getting knowledge of a
subject or a skill by study, experience, or instruction (pemerolehan ilmu
melalui belajar, pengalaman, pelatihan (Ellis, 1986)). Jadi, teori
belajar bahasa adalah gagasan-gagasan tentang pemerolehan bahasa. Dalam
belajar, biasanya dilakukan dengan sengaja, harus direncanakan sebelumnya
dengan struktur tertentu, guru menciptakan pembelajaran buat siswa. memberikan
hasil tertentu buat siswa, hasil-hasil yang dicapai dapat dikontrol dengan
cermat, sistem penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan (Oemar Hamalik 2001:
154)[31].
Terdapat
teori yang mempengaruhi teori belajar bahasa, yaitu teori nativisme
(mentalistik) Chomsky (Ellis, 1986:
4-9)[32] yang
menyebutkan bahwa hanya manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang dapat
melakukan komunikasi lewat bahasa verbal dan telah memiliki“alat penguasaan
bahasa” atau LAD (language Acquisition Device). Selama belajar bahasa
pertama sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang
secara genetis telah terprogramkan. Dengan perkataan lain, mereka menganggap
bahwa bahasa merupakan pemberian biologis sejak lahir.
Kemudian
teori behaviorisme John B. Watson (1878-1958)[33] yang
menyebutkan bahwa semua perilaku, termasuk tindak balas (respons)
ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Dengan kata lain,
terdapat sebuah rangsangan dalam mempelajari sebuah bahasa, terlebih dari
lingkungan (Skinner, 1957)[34]. Jika
pada saat merespon rangsangan tersebut menghasilkan sesuatu yang positif bagi
dirinya, maka akan terus dipertahankan dan dikembangkan. Jika tidak, maka
perlahan-lahan akan disisihkan.
Manusia
pada dasarnya bisa menjadi perangkat/alat dalam kehidupannya sendiri. Dengan
kata lain memiliki bakat alami/bakat bawaan berbentuk kemampuan intelegensi
yang terdiri dari intelegensi kognitif[35] dan
emosional[36]. Dalam proses pendidikan,
diharapkan setiap individu memiliki kemampuan kognitif[37],
afektif[38], dan
psikomotorik[39]. Terdapat pola tahapan
proses belajar bahasa yaitu: proses penyesuaian pengetahuan baru dengan
struktur kognitif (asimilasi), proses penyesuaian struktur kognitif dengan
pengetahuan baru (Akomodasi), proses penerimaan pengetahuan baru yang tidak
sama dengan yang telah diketahuinya (Disquilibrasi), proses penyeimbang mental
setelah terjadi proses asimilasi (Equilibrasi).
Konsep
yang penulis pakai yaitu konsep mengenai pendidikan tinggi. Secara pengertian,
pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor
yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan
dengan sistem terbuka, yang diselenggarakan untuk menyiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau
profesional untuk dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian dan dapat dilakukan melalui proses
pembelajaran yang mengembangkan kemampuan belajar mandiri[40].
Sedang
perguruan tinggi sendiri adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi dan dapat berbentuk akademi[41],
politeknik[42], sekolah tinggi[43],
institut[44] dan universitas[45].
Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau
vokasi [46]. Pendidikan
tinggi terdiri dari pendidikan akademik yang memiliki fokus dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan pendidikan vokasi yang menitik beratkan pada persiapan
lulusan untuk mengaplikasikan keahliannya[47].
E.
Tinjauan
Pustaka
Penelitian
atau buku yang mengkaji tema yang penulis angkat dalam skripsi ini sudah banyak
ditulis. Diantaranya dalam buku Mr. Sujdono, Mendarat dengan pasukan Jepang di
Banten 1942 (Disunting: Soebagijo, I. N., Gunung Agung. 1983) yang menuliskan
sekelumit kisah tentang menempuh studi di Jepang pada masa sebelum Perang
Pasifik. Kemudian dari buku karya Sjahrazad, Indonesische Overpeinzingen, yang
menuliskan tentang isi surat dari Sutan Syahrir kepada istrinya yang
menyebutkan tentang propaganda Jepang terhadap rakyat Indonesia di hampir
seluruh wilayah Indonesia tentang kekuatan Jepang dan mengarahkan untuk belajar
ke Jepang. Buku yang lain ialah buku yang berjudul Suka duka Pelajar Indonesia
di Jepang. Buku ini berisi kisah pelajar-pelajar Indonesia yang pergi belajar
ke Jepang sebelum dan sesudah perang pasifik. Sementara itu, buku ataupun karya
tulis maupun penelitian yang meneliti atau membahas bagaimana perkembangan
pendidikan bahasa Jepang di Indonesia khususnya di Surabaya belum pernah ada.
F.
Metode
dan Sumber Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah
yaitu metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode
penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi
sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang
lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah[48].
Lebih
khusus lagi, menurut Gilbert J. Garragham (1957: 33) menyebutkan bahawa metode
penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan
mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis[49].
Dalam penelitian sejarah, terdapat
langkah-langkah yang harus dilakukan, yaitu pertama: pemilihan topik. Topik
merupakan sebuah masalah atau obyek yang harus dipecahkan melalui penelitian
ilmiah yang dipengaruhi oleh motif penelitian dari penulis[50],
berdasar kedekatan emosional dan kedekatan intelektual (Kuntowijoyo, 1995: 90)[51],
yang bernilai[52], orisinil[53] dan
praktis[54] (T.
Ibrahim Alfian, 1984: 17-18; dalam Dudung Abdurahman. Hal 57).
Langkah
kedua yaitu penyusunan rencana penelitian atau yang biasa disebut dengan
proposal penelitian. Dalam hal ini apa yang penulis akan lakukan dalam sebuah
penelitian dijabarkan dalam bentuk proposal. Isi pokok dalam penelitian sejarah
adalah latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori (bisa tidak digunakan), dan metode
penelitian.
Lagkah
ketiga yaitu pengumpulan sumber sebagai bahan untuk merekonstruksi sebuah
peristiwa sejarah. Teknik yang penulis gunakan adalah heuristik yaitu
dengan membaca bibliografi terdahulu mengenai topik penelitian untuk
mengumpulkan sebagian data dan juga bisa mencatat sumber terkait yang
digunakan. Sumber yang umum digunakan untuk membuat historiografi umumnya sumber
primer[55]. Sumber
primer yang penulis maksud dalam penelitian ini yaitu berupa data-data tentang
kronologi pendirian jurusan bahasa/sastra Jepang di universitas yang ada di
Surabaya yang dimiliki oleh universitas yang mengadakan pendidikan bahasa
Jepang di Surabaya.
Namun
demikian tidak mudah pula untuk mendapatkan sumber primer. Oleh karena itu
penulis menggunakan sumber sekunder berupa berita di koran, majalah, buku
ataupun media internet. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara langsung
dengan pelaku peristiwa sebagai sumber alternatif. Berdasar uraian sebelumnya
terdapat empat universitas yang menyelenggarakan pendidikan bahasa Jepang,
sehingga informan wawancara berjumlah empat orang yang adalah ketua jurusan
bahasa/sastra Jepang di masing-masing universitas ataupun juga dosen yang
mengajar disana.
Langkah
keempat yang penulis lakukan adalah verifikasi atau kritik sumber.
Sumber-sumber yang sudah terkumpul tersebut penulis verifikasi melalui kritik
intern untuk mengetahui kesahihan atau kelayakan sumber (kredibilitas) untuk
mendeteksi adanya kekeliruan yang mungkin terjadi[56]. Langkah
kelima yaitu interpretasi sejarah atau analisis sejarah. Ada dua metode yang penulis
gunakan, pertama yaitu, analisis sejumlah fakta dari sumber yang ada. Metode
kedua yaitu sintesis fakta dari sumber-sumber yang diperoleh.
Langkah
terakhir yang penulis lakukan yaitu penulisan sejarah atau rekonstruksi atas
fakta yang telah dikumpulkan yang bertujuan untuk memaparkan proses perkembangan
pendidikan bahasa Jepang di Perguruan Tinggi di Surabaya dari tahun 1980-2013. Intinya,
fakta-fakta sejarah yang didapat disusun sesuai dengan urutan waktu/kronologis
dengan menitik beratkan unsur obyektifitas peristiwa dan meminimalisir unsur
subyektifitas penulis.
Penyajian
penilisan ini dibagi dalam tiga bagian, yang pertama yaitu pengantar yang
merupakan penjabaran lebih lanjut dari proposal penelitian. Yang kedua yaitu
hasil dari penelitian yang berisi uraian dan pembahasan dari permasalahan yang
diteliti yang dituangkan ke dalam beberapa bab. Bagian terakhir yaitu
kesimpulan yang berisi tentang gambaran umum dari yang telah diuraikan dalam
bab-bab sebelumnya.
[1] “Jepang Dewasa Ini”, Kementrian Luar Negeri, Jepang. 1979. Halaman 29.
[2] Ibid.
[3] Kurasawa Aiko, Business and
Commerce Profesor of Keio University dalam Meta Sekar Puji Astuti, “Apakah
Mereka Mata-Mata?”, Ombak. 2008, Yogyakarta. Kata pengantar.
[4] 25 laki-laki, 100 perempuan, survei dari
Konsulat Jepang di Indonesia, dalam Shimizu Hiroshi, “Rise and Fall of the
Karayuki-san in the Netherlands Indies for the late Nineteenth Century to the
1930s” dalam Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol.26, (The
Departement of Southeast Asian Studies, The University of Sydney), hl.20-21
dalam Meta Sekar Puji, thesis.
[5] 166 laki-laki, 448 perempuan, Ibid.
[6] Persada senior, “Suka Duka
Pelajar Indonesia di Jepang”, Jakarta: CV. Antakarya, hal. 10
[7] Ibid. Saat
Jepang menjajah Indonesia yang berdasar dari semua kalangan asalkan lulus dari
serangkaian ujian yang diselenggarakan di kantor-kantor pemerintah daerah
maupun pusat (Jakarta) ataupun juga merupakan perwakilan keraton atau kerajaan.
Namun, mereka tidak serta merta langsung masuk ke perguruan tinggi. Mereka
harus menempuh pendidikan di kokusai
gakuyukai (Pelatihan
bahasa jepang bagi orang asing),
terlebih dahulu, karena mereka yang dikirim tersebut tidak
mengerti mengenai bahasa Jepang. Setelah mereka lulus dan kembali ke Indonesia,
mereka membentuk Persada (Persatuan Alumni Jepang). Saat mereka belajar ke
Jepang, kondisi di Indonesia sedang mengalami pergolakan berat karena Jepang
mulai mengeksploitasi SDM dan SDA yang ada di Indonesia untuk keperluan perang.
Sehingga para pelajar yang telah menyelesaikan pendidikannya kebanyakan setelah
Indonesia merdeka. Sebuah ikatan Persatuan Alumni Jepang yang mereka bentuk
tersebut tidak semata-mata hanya untuk temu alumni, tetapi saling membagi
pengalaman dari generasi pertama hingga saat ini. Tidak hanya itu, juga
didirikan sebuah universitas dengan mengusung nama Persada. Hal tersebut
bertujuan untuk mengembangkan bahasa Jepang di Indonesia.
[8] M.C, Ricklefs. “Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2004”, PT. Serambi Ilmu Semesta.
2005, Jakarta.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Pemerintah Jepang diwakili oleh Menteri Luar
Negeri Jepang saat itu yakni Fujiyama Aichiro dan pemerintah Indonesia diwakili
oleh Menteri Luar Negeri Subandrio
[12] Konsulat Jenderal Jepang
Surabaya http://www.id.emb-japan.go.jp/birel_id.html
diakses pada 20 November 2013.
[13] Prof. DR. Aiko Kurasawa, “Kajian
Indonesia di Jepang” Keio University, Tokyo, artikel.
[14]Marsudi Budi Utomo, “Memaknai 50 Tahun Hubungan Jepang
Indonesia“
http://marsudibudiutomo.multiply.com/journal/item/71/Memaknai_50_Tahun_Hubungan_Jepang_Indonesia diakses
pada tanggal 29 Agustus 2012.
[15] Nurul Fitriani, “Defisit Perdagangan Non-Migas dengan Jepang
Diperkirakan Berlanjut” http://www.indonesiafinancetoday.com/read/21548/Defisit-Perdagangan-Non-Migas-dengan-Jepang-Diperkirakan-Berlanjut
dalam http://makmunr.blogspot.com/2012/01/defisit-perdagangan-non-migas-dengan.html
diakses pada 21 maret 2012
[16] Marsudi, op.cit
[17] Present
Condition of Overseas Japanese-Language Education, Survey
Report on Japanese-Language Education Abroad 1998-2012, The Japan Foundation Japanese-Language Institute, Urawa,
5-6-36 Kita-urawa, Urawa, Saitama 336-0002 Japan, http://www.jpf.go.jp/e/japanese/survey/result/survey12.html,
diakses pada 31 Januari 2014.
[18] Present Condition of Overseas Japanese-Language Education, Survey Report on Japanese-Language Education Abroad
1998-2012, The Japan Foundation Japanese-Language
Institute. Ibid.
[19] Survey Report on Japanese-Language Education Abroad
1998-2012, The Japan Foundation Japanese-Language
Institute.
Ibid.
[24] “Peminat Bahasa Jepang di
Jatim Tinggi”, http://surabayapagi.com/Untag-akan-Buka-Jurusan-Bahasa-Jepang/,
diakses pada 6 Oktober 2013.
[25] Kopertis VII surabaya dalam
Proposal Pengajuan Persetujuan Pembukaan Program Studi Bahasa dan Sastra
Jepang, Fakultas Sastra Universitas Airlangga Tahap II. Edisi kelima, 2006.
Tabel terlampir.
[26]
“Sastra Jepang Makin Diminati”, http://www.surya.co.id/Surabaya/surya_online/sastra_jepang_makin_diminati.htm
diakses pada 12 November 2013.
[27] Sri Guna Najib Chaqoqo, “Materi
dan Wacana Perkuliahan: Teori Pendidikan”, http://chaqoqo.staff.stainsalatiga.ac.id/2013/10/01/teori-pendidikan/
diakses pada 18 Januari 2014.
[28] seperti pengaruh lingkungan
pendidikan dan kebijakan-kebijakan politik yang mempengaruhinya.
[29] Kondisi lingkungan akan
mempengaruhi suatu pendidikan dan keberadaan pendidikan itu sendiri memiliki
suatu tujuan yang mana disesuaikan dengan norma yang ada ataupun untuk
menciptakan suatu norma yang belum ada dalam sebuah lingkungan tempat pendidikan
itu berada.
[30] Setyawan Pujiono, “Pengembangan
Kemampuan Berbahasa”, Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Negeri Yogyakarta.
Jurnal.
[31] Setyawan, Ibid.
[32] Setyawan, Ibid
[33] Setyawan, Ibid
[34] Setyawan, Ibid
[35] kemampuan untuk memahami dan
menteorisasikan melalui ketrampilan verbal, numeral, spasial atau menalar
praktis dan tiga dimensi, serta menuangkannya dalam bentuk kata-kata.
[36] kemampuan untuk mengenali dan
mengelola emosi diri sendiri dan orang lain, sekaligus untuk kepentingan
hubungan sosialnya.
[37] kemampuan untuk mengenal
dunia sekitarnya dalam bentuk memahami, mengaplikasikan, memadukan, dan
mengevaluasi.
[38] kemampuan mengalami dan
menghayati nilai-nilai yang darinya tumbuh kemampuan untuk bersimpati,
berempati, berpartisipasi, dan mengorganisasi nilai-nilai kehidupan yang
terinternalisasi dalam dirinya.
[39] kemampuan untuk menggunakan
pancaindera dan anggota tubuh dalam bentuk meakukan tindakan, mengorganisasi,
kepercayaan diri dalam ketrampilan hidup (lifeskill).
[40]“Sistem
Pendidikan Tinggi”, http://www.gunadarma.ac.id/en/page/sistem-pendidikan-tinggi.html.
diakses pada 18 Januari 2014.
[41] perguruan tinggi yang
menyelenggarakan program pendidikan vokasi dalam satu cabang atau sebagian
cabang ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.
[42] perguruan tinggi yang
menyelenggarakan program pendidikan profesional dalam sejumlah bidang
pengetahuan khusus.
[43] perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi dan akademik dalam lingkup satu disiplin
ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.
[44] institusi perguruan tinggi
yang menyediakan pendidikan tinggi yang mengarah kepada level sarjana.
[45] Ibid.
[46] “Definisi
dan Pengertian Pendidikan”, http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/01/definisi-dan-pengertian-pendidikan_31.html
diakses pada 18 Januari 2014.
[47] Efri Harefa,
“Sistem Pendidikan Tinggi”, http://poliprofesinias.wordpress.com/2013/03/23/sistem-pendidikan-tinggi/.
Diakses pada 18 Januari 2014.
[48] A.
Sobana Hs, “Workshop Penelitian dan
Pengembangan Kebudayaan; Penulisan Karya Ilmiah dan Perekaman Data”
[49] Dudung Abdurahman, “Metode
Penelitian Sejarah”, Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2007.
[50] Tidak hanya untuk
menghasilkan karya yang bersifat kompilasi tapi juga memberikan sumbangan baru
pada perkembangan ilmu pengetahuan (Alfian. 1994: 2) dalam Dudung Abdurahman,
hal. 55.
[51] Dudung, Ibid. Hal. 55
[52] Salah satu pengalaman manusia
yang dianggap penting (dari sudut pandang sosial)
[53] Ada pembuktian hal baru yang
substansial dan penting atau menunjukkan interpretasi baru, yang bisa dipertanggungjawabkan
dengan bukti-bukti baru
[54] Dapat dikerjakan dalam waktu
yang tersedia, terjangkau sumbernya dan bisa menguasai bahasa yang terdapat
pada sumber
[55] Sumber yang disampaikan saksi
mata, bisa dalam bentuk dokumen (catatan rapat, daftar anggota organisasi,
arsip pemerintah, dll), juga bisa dalam bentuk lisan berupa wawancara langsung
dengan pelaku peristiwa atau saksi mata. Dudung Abdurahman, opo. cit., hal. 65.
[56] Kapan sumber dibuat, dimana
sumber dibuat, siapa yang terlibat, dari bahan apa terbuatnya, apakah sumber
tersebut asli. Dudung Abdurahman Hal. 68 - 70.
0 komentar:
Posting Komentar